Hari ini, 23 Agustus, ada beberapa blogger dan webber yang posting bahwa hari ini adalah hari internasional mengenang perbudakan dan penghapusannya contoh salah satunya
di sini nih. (Bener nggak? sejarahnya saya juga nggak tahu? ... )
Tapi mengenai perbudakan...
ada yang seru nih ... tentang Perbudakan Dalam Islam.
Ada beberapa kesalahpahaman dari Orang Non Islam dan bahkan dari Orang Islam sendiri dengan pemahaman yang salah terhadap tema ini.
16 Tahun yang lalu sempat ada kejadian yang menimbulkan pertanyaan tentang tema ini. Begini pertanyaannya:
Kasus Tenaga Kerja Wanita di Saudi Arabia
Subject: [mus-lim] Budak Wanita dalam Al Qur'an (tanggapan terhadap KBNU Mesir)
Date: Sun, 23 Apr 2000 21:42:43 EDT
From: MSali95949@aol.com
To: imsa@imsa.nu, mus-lim@isnet.org
Reply-To: mus-lim@isnet.org
Assalamualaikum,
Saya ucapkan terima kasih atas tanggapan anda (KMNU/Komite Mahasiswa NU?) atas tulisan saya terdahulu mengenai "betulkan budak dapat digauli tanpa nikah" sebagai tanggapan terhadap komentar GD yang menyatakan bahwa TKW banyak diperkosa karena konsep perbudakan dalam Islam klasik yang masih dianut oleh orang-orang arab.
Pertama, saya sudah yakin bahwa betapapun benar argumentasi yang akan saya sampaikan pasti akan disalahkan oleh anda (KMNU) misalnya, karena tulisan saya menyanggah penyataan seorang K.H. yang dijuluki "wali". Ibaratnya, saya telah terlalu berani untuk bersinggungan dengan "wali" yang terkadang ucapannya dianggap suci, sehingga jangan-jangan saya mendapat laknat. Dan ternyata betul, tulisan saya dengan penuh semangat ditanggapi dan bahkan mungkin dilaknat anda.
Tanggapan anda pada intinya mencakup 3 hal:
Pertama, bahwa saya menulis tersebut karena membenci Gus Dur.
Kedua, membela Gus Dur yang menyatakan bahwa terjadinya pemerkosaan terjadap TKW di Saudi karena hukum Islam klasik yang membenarkan hubungan seksual dengan budak wanita tanpa nikah.
Ketiga, diskusi sekitar arti budak wanita dalam Islam itu sendiri.
Dari ketiga masalah yang diungkapkan, saya menangkap dengan jelas betapa semangat membela "wali" itu begitu tinggi, kendati mungkin harus bertentangan dengan rasio dan semangat kejujuran intelektual itu sendiri. Ketika menyadari ini, saya mengingat kembali percakapan antara Rasulullah SAW dan Adi bin Abi Hatim. Suatu ketika rasulullah SAW menyatakan bahwa kaum Yahudi dan Nasara menjadikan para Rahib dan Nabinya sebagai sembahan-sembahan selain Allah. Adi yang masuk Islam dari agama Nasrani, protes dan mengatakan bahwa "Kami tidak pernah menyembah mereka wahai rasulullah". Rasulullah kemudian bertanya: 'Tidakkah mereka mengharamkan apa-apa yang dihalakan oleh Allah, lalu kamu ikut mengharamkannya? Tidakkah mereka menghalalkan apa-apa yang dihalalkan Allah, lalu kamu ikut menghalalkannya?". Jawab Adi: "Betul wahai rasulullah". Sabda baginda Rasul: "Itulah bentuk penyembahan mereka kepada selain Allah", seraya membaca ayat 31 dari S At Taubah.
Saya menangkap demikian dari tanggapan anda, karena tuduhan pertama terhadap saya adalah bahwa saya membenci Gus Dur. Artinya, saya menulis dan menanggapi GD karena saya benci kepadanya. Padahal, bukankah keinginan seorang Muslim untuk mengeritik seorang Muslim yang lain, apalagi dengan cara yang hikmah dan didukung oleh wawasan intelektual (keilmuan) yang jelas adalah merupakan bentuk kasih sayang kepada sesama Muslim? Tapi kenapa anda berkesimpulan bahwa saya menulis ini karena sangat benci dengan GD? Jawabannya karena anda nampaknya telah melihat GD sebagai "wali" yang kata-katanya tidak mengandung kesalahan. Jika kesimpulan saya ini benar (saya berharap semoga salah), maka anda telah menyikapi GD sebagimana kaum yahudi menyikapi rahib-rahib mereka. Wal'iyaadzu billah!
Kasus TKW
Dikatakannya bahwa pemerkosaan kepada TKW Indonesia di Saudi disebabkan karena adanya sisa-sisa pemahaman orang-orang saudi tentang hukum Islam klasik yang masih membenarkan hubungan seksual dengan budak wanita. Hal ini boleh saya katakan mendekati mustahil, karena selama 3 tahun lebih saya tinggal di Saudi, persisnya di Jeddah, dengan pekerjaan yang banyak berhubungan dengan para pekerja (tau'iyah atau tugas da'wah dari kantor da'wah Jeddah), saya mendapati penyebab-penyebab pemerkosaan karena hal-hal yang saya sebutkan terdahulu. Orang-orang saudi, kalaupun ternyata ada yang berfaham demikian, maka itu adalah bagian dari penyelewengan pemahaman terhadap hukum Islam yang benar mengenai hal ini (budak wanita), sebagimana GD salah memahaminya. Sebab bagaimanapun juga, dan anda akan baca di bawah ini, Islam tidak pernah dan tak akan pernah membenarkan hubungan seksual dengan siapa saja, termasuk dengan budak wanita, tanpa proses pernikahan.
Anda sebutkan penampungan yang demikian ...saya lupa istilah Madura anda. Saya mengetahui banyak penampungan (tempat di mana para TKW ditampung jika melarikan diri dari majikan) karena saya seringkali mengunjukinya untuk melakukan tau'iyah. Pada umumnya penampungan ini sifatnya ilegal di kota Jeddah. Di tempat ini memang seringkali terjadi penyelewengan seksual, tapi hal itu bukanlah justifikasi untuk menyatakan bahwa hal itu adalah karena konsep perbudakan. Saya justeru melihatnya, justeru tidak ada hubungannya dengan masalah yang kita bicarakan. Pemandangan yang dilihat di panmpungan itu sendiri merupakan pembenaran terhadap kesimpulan saya, bahwa pemerkosaan banyak terjadi karena salah satu penyebabnya adalah para tkw sendiri yang getol atau gatal.
Konsep perbudakan dalam Qur'an
Cuku panjang uraian anda. Namun say belum bisa menarik benang merah sebagai kesimpulan dari uraian yang cukup berbelit-belit itu. Sayangnya pula, anda tidak menyampaiakn pendapat anda yang jelas, apakah budak wanita dalam pandangan Islam dapat digauli tanpa nikah, atau harus dengan pernikahan yang sah. Karena, penamaan perbedaan penamaan budak yang sudah dikawini (menurut saya milkul yamiin) dan yang budak wanita lajang (amatun) menurut saya bukan titik poin peemasalahan. Poin utama permasalahan adalah, bolehkah budak digauli tanpa nikah???
Walaupun demikian, dengan berbagai contoh-contoh ayat yang anda berikan, saya kali ini hanya akan merujuk kepada satu ayat (satu saja, supaya terkonsentrasi dalam memahaminya dan tidak berbelit-belit) dalam kaitannya dengan hukum hubungan seksual antara seorang majikan dan budak wanita tersebut. Lihat s. An Nisa: 24-25 misalnya. Berikut terjemahan lengkap dan catatan kaki Depag (sengaja saya pakai terjemahan Depag supaya jangan disangka saya membuat-buat terjemahan):
"Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalakan bagi kamu selain yang demikian. (Yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu ni'mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban: dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana"
"Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita-wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki, Allah mengetahui keimananmu; sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan pula wanita yang mengambil laki-laki sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyarakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (4: 24-25).
Dari berpedoman kepada satu ayat ini saja, keraguan anda terhadap kesimpulan saya yang menyatakan bahwa adalah dilarang seorang Muslim untuk menggauli budaknya tanpa proses pernikahan telah terjawab sudah.
Pertama, Konteks pembicaraan di ayat 24 adalah sambungan dari pembicaraan di ayat 23 sebelumnya, yaitu tentang wanita-wanita yang diharamkan untuk dinikahi (muhrim). Lalu pada ayat 24 disebutkan satu lagi macam wanita yang dilarang, yaitu mereka yang masih dalam status bersuami. Kemudian dilanjutkan oleh Allah, "kecuali budak-budak yang kamu miliki". Karena konteksnya adalah mengenai siapa-siapa yang tidak boleh dinikahi, maka tafsiran ayat "illa maa malakat aemaanukum" di sini adalah "Kecuali budak-budak wanita yang kamu miliki dapat dinikahi, walaupun masih dalam status punya suami. Dalam banyak penafsiran dijelaskan bahwa budak wanita yang bersuami namun dapat dinikahi yang dimaksud pada ayat tersebut adalah budak-budak yang ikut menjadi tahanan perang dan atau dijual oleh tuannya. Jika seorang budak wanita ikut dalam tawanan dan suaminya tidak tertahan, maka oleh sebagian ulama dianggap telah bercerai dengan sendirinya. Demikian pula, jika seorang budak wanita dijual oleh tuannya, sementara suaminya tidak ikut terjual bersamanya, maka secara otomatis pula terceraikan dari suami tersebut. Dengan demikian, jika seorang Muslim ingin menikahi budak wanita seperti ini, jangan ragu (boleh) karena tidak lagi berstatus bersuami.
Dengan demikian, ayat 24 yang sering disalah fahami sebagai ayat pembenaran untuk menggauli budak tanpa nikah, justeru sesungguhnya sebaliknya. Kejelasan ini semakin nampak jika baca secara teliti ayat 25 tersebut.
Ayat 25 dimulai dengan "dan jika kamu tidak memiliki kemampuan untuk menikahi wanita-wanita merdeka". Artinya, konteksnya adalah menikahi. Kalimat ini lalu dilanjutkan: "Fa mimmaa malakat aemaanukum min fatayaatikumul mu'minaat". Oleh departemen agama secara lugas dan transparan diterjemahkan: "ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki". Potongan ayat ini saja sudah jelas, bahwa jika tak mampu menikahi wanita merdeka (biasanya karena maharnya terlalu mahal) maka demi menjaga kehormatan lelaki tersebut, tidaklah apa-apa menikahi (mengawini) wanita mu'min dari kalangan budak. Jadi bukan karena tidak mampu menikahi wanita merdeka, lalu boleh menggauli budak tanpa nikah.
Akan semakin jelas, jika anda baca lanjutan ayat tersebut: "Fankihuuhunna biidzni ahlihina, waatuuhunna ujuurahunna bil ma'ruuf" (Maka nikahilah mereka, -yaitu budak-budak wanita tersebut- dengan izin walinya dan berikanlah maharnya dengan cara yang baik).
Dengan potongan ayat ini, apakah tidak nampak sinarnya mentari kebenaran di depan mata anda, bahwa memang betul Islam tidak pernah dan tak akan pernah menghalalkan hubungan seksual seorang majikan dengan budak wanitanya tanpa nikah. Dengan demikian, jika ada orang yang memahami bahwa hukum Islam (apalagi dengan embel kata klasik) pernah menghalalkan hubungan seksual dengan budak wanita tanpa nikah, adalah keliru dan pertanda kekurang telitian dalam melihat ayat-ayat al Qur'an.
Demikian tanggapan singkat saya, sengaja saya tidak mengupas keseluruhan ayat-ayat yang anda kutip karena disamping ayat ini cukup representatif untuk menjustify pendapat saya, juga saya tidak mau bertele-tele tanpa kesimpulan yang jelas. Pertanyaan saya yang terakhir, apa sebenarnya sikap anda, betulkah Islam membenarkan hubungan seksual dengan budak tanpa nikah, atau Islam membolehkan hubungan tersebut hanya dengan proses pernikahan?
Ada beberapa catatan ringkas dari tanggapan anda, seolah hanya anda yang pernah belajar bahasa Arab. Disamping itu, references yang anda ungkapkan juga mengambil yang terlalu asing. Padahal jika saja anda merujuk kepada tafsir Ibnu Katsir mengenai hal ini, khususnya penafsiran ayat di atas, kekeliruan anda bersama Gus Dur akan terjawab.
Saya ingin ulangi lagi, bahwa diwajibkanya seorang majikan untuk menikahi budak wanitanya jika ingin berhubungan adalah merupakan salah satu upaya penghapusan perbudakan dalam Islam. Tentu Islam memiliki banyak cara, namun dengan mewajibkan kepada lelaki menikahi budak wanita jika ingin melakukan hubungan adalah salah satu dari upaya-upaya tersebut. Sebab jika seorang budak wanita telah dinikahi oleh pria merdeka, maka secara otomatis dia menjadi wanita yang merdeka pula.
Sekali lagi, saya ingin tegaskan bahwa penyelewengan seksual yang terjadi kepada atau di kalangan TKW kita bukan karena hukum Islam yang pernah membenarkan hubungan seksual dengan para budak wanita, terlepas benar tidaknya apakah majikan TKW itu melihat pembantunya sebagai budak atau tidak. Sebab sekalipun mereka melihat pembantunya sebagai budak, toh Islam tidak membenarkan hubungan tersebut. Terjadinya pemerkosaan atau penyelwengan seksual pada umumnya disebabkan karena hal-hal yang saya sebutkan terdahulu.
Wassalam,
M. Syamsi Ali
New York
Sumbernya di sini nih
Bagaimana dengan konsep perbudakan untuk jaman sekarang ini? .
Baca juga
di sini .